Kamis, 02 Juli 2015

Jamaah Pasca Haji Dalam Pembenahan Kehidupan Sosial (Suatu Refleksi HUT 69 Kemerdekaan RI).



Dalam peta peradaban, makna haji memiliki dimensi ganda yang harus dihayati oleh komunitas umat Islam. Pada awal pertumbuhan disiplin fiqih yang notabenenya memiliki makna legitimatif bagi termonologi nilai-nilai Islam, haji memiliki makna ganda yang teramat religius. Pertama, haji sebagai pengabdian yang secara substansi merupakan paket spiritual bagi pertumbuhan kesadaran jiwanya dalam memberikan pembekalan nurani bagi pertumbuhan intelektualitas para pelakunya lewat penghayatan terhadap kegiatan selama musim haji. Kedua, haji sebagai beban ritual yang struktur perjalanannya ditanggung oleh dimensi finansial sebagai implementasi kesadaran sosial yang dipolakan lewat anggaran dalam bentuk harta. Namun dalam perjalanannya, dua makna di atas mengalami pergeseran dalam mentransformasikan kehidupan sosial yang perlu mendapat jawaban secara transparan.

Dalam era yang semuanya didasarkan kepada realita ilmiah, ritual ibadah haji mendesak untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis yang semakin memperkuat keyakinan umat Islam, bahwa haji sebagai tiang Islam yang teramat urgen. Urgensi ini dimaksudkan untuk menandingi sebagian pemeo yang menyatakan bahwa haji tak memiliki relevansi terhadap realitas kekinian.

Untuk membicarakan masalah ibadah haji dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan apa yang terjadi dalam perilaku bagi setiap muslim yang telah menunaikan ibadah haji, setidaknya kita buka kembali kepada suatu tarikh Islam, dimana suatu saat ada seorang sahabat Nabi Muhammad saw mempertanyakan mengenai amalan apa dan bentuk jihad bagaimana yang paling istimewa di hadapan Allah Azza Wa Jalla, beliau menjawab yaitu hajjun mabrurun, atau yang lazim kita sebut haji mabrur.

Guna mengetahui dan memahami alasan tentang mengapa haji yang mabrur merupakan bentuk amalan dan jihad yang istimewa dalam Islam, dapat kita pelajari dari segi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri yang sarat dengan simbol-simbol dan penuh makna serta mendatangkan berbagai manfaat yang positif di kemudian hari, baik manfaat atau pengaruh dalam aspek perubahan perilaku diri, aktivitas sosial keagamaan, politis, ekonomi dan sebagainya.  

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, rasanya pertanyaan mendasar yang perlu diajukan apakah para kaum haji Indonesia mempunyai kontribusi terhadap pembenahan dan tranformasi kehidupan sosial?. Mari kita tengok lembaran semangat para pendahulu dalam mengaktualisasikan setelah pulang menunaikan ibadah haji.

Menunaikan rukun Islam yang kelima merupakan ibadah yang benar-benar didasari taqwa, sebagaimana diajarkan Rasulullah. Mereka berbekal taqwa, sebagaimana dianjurkan Allah swt, “fainna khairuz zadit taqwa“ (sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah taqwa). Bekal bagi jamaah haji tempo dulu dan zaman sekarang memang sama yaitu taqwa. Yang berbeda barangkali penafsirannya. Pengertian taqwa di zaman sekarang barangkali sebatas “tunduk” atau “patuh” dalam terminologi ibadah mahdlah. Tapi bagi jamaah haji tempo dulu, persepsi taqwa ternyata sangat luas dan muatan pengertiannyapun meliputi semangat untuk membela kebenaran keadilan.

Di abad 16 sampai 19, misalnya, para calon jamaah haji tidak sebatas  “beribadah” tetapi membawa misi patriotisme, atau mendorong pembaharuan pemikiran beragama. Seperti halnya, Imam Bonjol dan Diponegoro, begitu pulang haji memimpin perjuangan membebaskan bangsa dari kolonialisme Belanda. Selain Islam memang mengajarkan pembebasan, bisa jadi selama di tanah suci mereka bertemu dengan para hujjaj nasionalis dari negeri-negeri Islam lainnya di Timur Tengah.

Begitu pula dengan KH. Ahmad Dahlan, begitu pulang setelah menunaikan rukun Islam ke lima, ia mendirikan pergerakan Muhammadiyah yang antara lain bertujuan membersihkan alam pikiran kaum muslimin dari bid’ah dan khurafat. Sementara KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama dan di awal revolusi bersenjata mengumumkan fatwa jihad melawan Belanda. Di abad 16 cakupan perhatian para haji sudah sangat luas. Bukan hanya memikirkan soal-soal ibadah saja, tapi juga meliputi masalah kenegaraan termasuk hubungan diplomatik. Di abad itu, misalnya para ulama Aceh telah menjalin hubungan telah menjalin hubungan dengan Sultan Rum, Khalifah Usmani di Turki. Itu berarti, para ulama sudah merintis solidaritas dunia muslim dengan menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara muslim. Begitu pula Sultan Agung dari Mataram mengirim delegasi ke Hijaz (sebelum menjadi Arab Saudi) untuk menjalin persahabatan agar perjalanan ibadah haji berlangsung aman. Selain Aceh dan Mataram, negeri muslim nusantara lainnya yang menjalin hubungan dengan Hijaz ialah Kesultanan Banten, Palembang dan Makassar. Di Makkah, para pedagang dan jamaah haji membentuk sebuah komunitas sebagai mukimin.

Semangat jihad inilah mendorong peran para pedagang muslim dan haji yang kembali dari Makkah berdakwah menyebarkan Islam di Nusantara. Di belakang hari tradisi semangat patriotisme itu diteruskan oleh para hujjaj yang di masyarakat dikenal sebagai pemimpin informal dengan sebutan ulama atau kyai. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia bertaburan nama-nama haji patriotik; H. Samanhoedi (Sarikat Dagang Islam), H. Oemar Said Tjokroaminoto (Sarikat Islam), H. Agoes Salim, KH. Mas Mansoer, Ki Bagoes Hadikoesoemo. Kaum haji dalam kehidupan berpolitik membuktikan pula bahwa pergerakan kebangsaan dan pergumulan serta pematangan dasar negara di Indonesia tak dapat dilepaskan dari peranan kaum haji, baik yang sempat terekam maupun yang tidak.

Para tokoh dengan organisasi-organisasinya itu merupakan bukti konkret betapa sejak awal pergerakan nasional, kaum haji dan umat secara menyeluruh telah memberikan kontribusi yang besar dalam usaha membangun bangsa. Kebanyakan reaksi rakyat dipimpin dan dipelopori oleh umat Islam, terutama dari mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Maka jika di masa lalu semangat para hujjaj menjiwai gerakan politik menegakkan kebenaran dan keadilan, termasuk melakukan transformasi sosial, bagaimana dengan para haji dewasa in?

Mengutip DR. Ali Shariati dalam bukunya Hajj, tugas dan kewajiban para haji setelah kembali ke tanah air, adalah : “Jadikanlah negerimu menjadi sebuah negeri yang aman karena engkau telah pulang dari tanah haram; Jadikanlah zamanmu zaman yang mulia seolah-olah engkau tetap berada di dalam keadaan ihram; Jadikanlah dunia ini seakan menjadi masjid suci karena engkau telah pulang dari Masjid Al Haram. “

Kutipan tersebut jika dicermati dengan tugas yang dihadapkan kepada para jamaah haji sangatlah relevan mengingat sekarang ini adalah bagaimana mengisi hasil rintisan dan kepeloporan para tokoh pendahulu dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang sedang dilanda dimensi keterpurukan humanisme, normaisme dan kesosialan yang akhir-akhir ini semakin terkikis. Suatu realita yang tidak dapat dinafikan, terkikis ini sejak kiris ekonomi melanda Indonesia tahun 1998 berdampak luas pada keterpurukan dalam segala kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, hal-hal yang menjadi pusat perhatian para jamaah pasca haji terhadap problematika yang melanda di tengah-tengah masyarakat adalah realitas yang dirasakan kekinian memudarnya sifat persamaan dan norma bermasyarakat, sikap introspeksi, norma dan nilai-nilai dan sikap hidup bekerja keras.

Bagi bangsa Indonesia, persamaan dan tenggang rasa ini adalah dua norma bermasyarakat yang boleh dikatakan telah semakin terkikis, Masyarakat bangsa ini telah semakin kehilangan kesadaran untuk memahami persamaan dalam khidupan bermasyarakat. Sebagai manusia, indvidu-individu telah membedakan dan dibedakan berdasarkan suku, ras, agama, status dan peran sosial. Konsekuensinya, rasa tenggang rasa antara sesama anggota masyarakat juga kemudian hanya berlaku sebatas garis-garis perbedaan tersebut. Persamaan dan tenggang rasa saling terancam kemudian kerap melanda setiap kelompok yang menghuni perbedaan-perbedaan tersebut. Maka, aktualisasi pesan-pesan sosial dalam ihram masyarakat memiliki potensi untuk menjadi komunitas sosial yang hidup semangat persamaan serta saling tenggang rasa.

Norma yang menjadi standar sikap dalam menghadapi kemungkaran ini juga mutlak dibutuhkan dalam kehidupan sosial kita. Hal ini karena masyarakat kita adalah masyarakat yang memiliki permissivitas yang tinggi terhadap berbagai bentuk pelanggaran norma-norma sosial. Akibatnya, terjadi macam kejahatan dalam semua bidang kehidupan. Masyarakat sudah kehilangan keberadaannya sebagai kontrol sekaligus pengawal norma dan nilai-nilai. Bahkan hukum yang seharusnya tercipta untuk mengawal moral kehidupan, juga tak sanggup berbuat banyak. Hukum tidak berdaya dan kehilangan kewibawaannya, karena manusia sebagai pelaku dan penegaknya telah tererosi moralnya. Pelanggaran norma-norma dan nilai-nilai bahkan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi penggalang dan pengayom kebenaran. Pada tataran inilah pesan-pesan ritus melempar jumrah menemukan titik urgensinya. Artinya kalau setiap individu dapat memposisikan dirinya sebagai penantang kemungkaran, maka masyarakat kita bisa menjadi sebuah komunitas sosial yang komitmen pada kebenaran serta bertanggung jawab terhadap norma-norma.

Sikap hidup yang bersedia untuk bekerja keras dan tidak mudah putus asa tersebut merupakan prinsip hidup yang semakin terkikis dalam masyarakat kita. Tingginya angka pengangguran serta membudayanya praktek KKN adalah beberapa penyakit sosial yang mempertegas hal ini. Masyarakat kita semakin dipenuhi oleh manusia-manusia yang bermental pragmatis dan oportunis. Sebuah masyarakat yang cenderung mewujudkan sesuatu yang tidak dengan kerja keras, namun dengan jalan pintas walaupun harus menerjang rambu-rambu dan aturannya. Di sinilah nilai-nilai sosial ibadah sa’I menemukan konteksnya dan vitalitasnya. Artinya, dengan mengaktualisasikan pesan dan semangat sa’i, masyarakat kita akan menjadi komunitas yang memiliki etos kerja keras dalam membangun dan membenahi baik dirinya maupun komunitasnya dan pada waktu yang bersamaan juga memiliki mental yang tidak gampang putus asa.
Demikianlah, nilai-nilai sosial ideal yang sangat kita butuhkan dalam membenahi dan membangun kembali masyarakat kita yang lebih ideal. Ini tentu saja dengan syarat bahwa nilai-nilai yang dikandung ibadah haji tersebut diaktualisasikan oleh jamaah haji Indonesia dalam kehidupan mereka. Kalau syarat ini terpenuhi, maka jamaah haji Indonesia yang semakin meningkat itu benar-benar akan menjadi potensi yang sangat besar untuk membangun sebuah masyarakat Indonesia yang ideal. Sebuah masyarakat yang diwarnai oleh norma-norma persamaan dan tenggang rasa, sikap introspeksi dan tak kenal kompromi terhadap segala bentuk kemungkaran, serta mental dan sikap untuk bekerja keras dan tidak gampang putus asa dalam hidup. Semoga semangat mengaktualisasikan pesan-pesan ibadah haji seiring dengan   menginjak kemerdakaan RI yang ke 66 merupakan pencerminan untuk mengisi dan meneruskan cita-cita dan kepoloporan para pendahulu dalam mencerahkan kehidupan masyarakat yang dinamis dengan nuansa Islami. Di samping itu, tak kalah urgennya    akan mengiringi ratusan ribu jamaah haji Indonesia yang saat ini sudah memasuki persiapan untuk menunaikan ibadah haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar